Pengantar
Meron adalah
tradisi memperingati kelahiran nabi Muhammad juga
berlangsung di kecamatan Sukolilo,
27 km arah selatan Pati.. Upacara ini
ditandai dengan arak-arakan nasi tumpeng yang menurut
masyarakat setempat disebut Meron. Nasi tumpeng tersebut dibawa ke masjid Sukolilo sebagai
kelengkapan upacara selamatan. Prosesi Meron tersebut diikuti oleh aneka ragam
kesenian tradisional setempat. Setelah upacara selamatan selesai, nasi Meron
kemudian dibagikan kepada seluruh pengunjung.
Pembahasan/Isi
Jalanan sepanjang satu kilometer yang
membelah Pegunungan Kendeng Utara di Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo,
Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (17/2), penuh sesak orang.
Mereka mengerumuni arak-arakan 14 meron atau gunungan yang menyerupai tombak
yang ujungnya terdapat lingkaran berisi ayam jago atau masjid.
Gunungan itu sangat khas, karena terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian teratas adalah mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka warna berisi
ayam jago atau masjid.
Ayam jago menyimbolkan semangat keprajuritan, masjid merupakan semangat
keislaman, dan bunga simbol persaudaraan.
Bagian kedua gunungan itu terbuat dari roncean atau rangkaian ampyang atau
kerupuk aneka warna berbahan baku tepung dan cucur atau kue tradisional
berbahan baku campuran tepung terigu dan tepung.
Ampyang melambangkan tameng atau perisai prajurit dan cucur lambang tekad
manunggal atau persatuan. Adapun bagian ketiga atau bawah gunungan disebut
ancak atau penopang.
Ancak itu terdiri ancak atas yang menyimbolkan iman, ancak tengah simbol islam,
dan ancak bawah simbol ikhsan atau kebaikan.
Masyarakat Sukolilo mempercayai barangsiapa memperoleh salah satu dari
bagian-bagian gunungan itu akan mendapatkan berkah sesuai dengan makna
lambang-lambang itu, kata Ketua Panitia Grebeg Budaya Tradisi Meron Desa
Sukolilo, Edy Purnomo.
Tradisi Meron merupakan tradisi tahunan yang digelar masyarakat Desa Sukolilo
setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi itu tumbuh sejak abad XVII.
Waktu itu, Sukolilo masih kademangan di bawah Kasultanan Mataram di bawah
perlindungan lima bersaudara yang kerap disebut pendawa Sukolilo, yaitu Sura
Kadam, Sura Kerto, Sura Yuda, Sura Dimejo, dan Sura Nata.
Sura Kadam merupakan salah satu abdi dalem Kasultanan Mataram. Dia menjadi
penunjuk jalan sekaligus prajurit mata-mata Kasultanan Mataram ketika Bupati
Pati, Wasisjoyokusuma, tidak mau tunduk kepada Kasultanan Mataram.
Ketika pasukan Kasultanan Mataram sampai di Sukolilo, terjadilah pertempuran
dengan prajurit Pati.
Namun, pertempuran itu berakhir dengan damai berkat kepiawaian berdialog Sura
Kadam dan empat tumenggung Kasultanan Mataram.
Untuk merayakan kemenangan perdamaian itu, digelarlah Tradisi Meron yang
berarti gunungan keprajuritan yang membawa pepadhang (penerang) persaudaraan
dan perdamaian, kata tokoh masyarakat Desa Sukolilo, Ali Zyudi.
Menurut Camat Sukolilo Sukismanto , Tradisi Meron diharapkan mampu memelihara
semangat persaudaraan yang beberapa waktu lalu terinjak- injak akibat tawuran
tetangga desa.
Dia juga meminta semangat Tradisi M eron dihidupi warga agar penghargaan
keberagaman selalu terjaga. Persaudaraan dan perdamaian sekarang ini mahal
harganya. Peliharalah semangat itu dan wariskan kepada anak cucu, kata
Sukismanto.
Asal-usul tradisi meron
Pati dan Mataram mempunyai hubungan
kekerabatan yang baik. Mereka sepakat mengembangkan Islam yang subur dan
menentang setiap pengaruh kekuasaan asing. Banyak pendekar sakti mataram yang
didatangkan ke Pati untuk melatih keprajuritan Karena itu mereka
harus tinggal berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di Pati.Ada seseorang
bernama Ki Suta Kerta yang menjadi demang Sukolilo. Meskipun ayah dan kakeknya
berasal dari Mataram dia belum pernah mengenal bumi leluhurnya. Tapi
dia bersukur tinggal di Pesantenan karena kotanya juga makmur.Sebaliknya
saudara Ki Suta yang bernama Sura Kadam ingin berbakti pada Mataram. Diapun
pergi ke Mataram, ketika sedang bersiap menghadap Sultan, ada keributan. Ada
seekor gajah mengamuk
dan telah menewaskan penggembalanya. Sura Kadam pun
berusaha mengatasi keadaan. Dia berhasil menjinakkan gajah dan menunggaginya,
dia diangkat menjadi punggawa Mataram yang bertugas mengurus gajah. Suatu
hari Sura Kadam bertugas memimpin pasukan Mataram menaklukkan Kadipaten Pati. Setelah
perang usai Sura Kadam pun menjenguk sudaranya di kademangan Sukalilo. Demang
Sura Kerta terkejut dan ketakutan. Dia takut ditangkap dan diringkus. Sura
Kadam mengetahui hal itu dan menjelaskan bahwa maksud kedatangannya adalah
untuk menyambung tali persaudaraan dan dia sudah membaktikan diri pada Mataram.
Dia minta ijin supaya para prajurit diijinkan menginap di kademangan Sukolilo
sambil menunggu saat yang tepat untuk kembali ke Mataram, Sura Kadampun
mengusulkan supaya mengadakan acara semacam sekaten untuk menghormatiMaulud Nabi dan memberi
hiburan pada rakyat. Kemudian mereka membuat gelanggang keramaian seperti sekaten. Rakyat menyambutnya
dengan gembira. Karena itulah keramaian itu disebut meron yang berasal dari
bahasa jawa rame dan iron-tiron-tiruan.
Dalam arak-arakan acara tersebut, diiring beberapa
gunungan yang sangat khas, karena terbagi menjadi tiga bagian.
- Bagian
teratas adalah mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka warna berisi
ayam jago atau masjid] Ayam jago menyimbolkan
semangat keprajuritan, masjid merupakan semangat keislaman, dan bunga
simbol persaudaraan.
- Bagian
kedua gunungan itu terbuat dari roncean atau rangkaian ampyang atau
kerupuk aneka warna berbahan baku tepung dan cucur atau kue tradisional
berbahan baku campuran tepung terigu dan tepung. Ampyang
melambangkan tameng atau perisai prajurit dan cucur lambang tekad
manunggal atau persatuan.
- Adapun
bagian ketiga atau bawah gunungan disebut ancak atau penopang. Ancak itu
terdiri ancak atas yang menyimbolkan iman, ancak tengah simbol islam, dan
ancak ba wah simbol ikhsan atau kebaikan.
Aku aji kusumo cucu dr eyang suro yudo dari garis keturun pandawa aja udah salah apa lagi cerita meron mas. Klu mau tau sejarah yang sebenarnya mbok yo tanya keturunan nya langsung. Tradisi meron tdk ada hubungan nya dgn perangkat desa.
BalasHapus